Penyair Dan Lembah Itu

Anis Matta - Penyair Dan Lembah ItuPasangan yang sedang berasyik masuk itu sejak awal menyita perhatian hampir semua penumpang. Mengelilingi selat Bosphorus yang membelah sayap Asia dan Eropa, kota Istambul menjelang senja, memang sebuah sensasi romansa. Mereka terus berpelukan. Dan berciuman. Yang ada hanya kata indah. Senyum. Dan ribuah kebahagian. Dunia jadi milik mereka berdua. Dan semua penumpang, termasuk rombongan, adalah penonton setia yang semakin mendorong ekshibisi mereka. Ibarat cawan-cawan anggur yang terus memabukkan orang-orang kasmaran.

Tapi kita semua tiba-tiba terhentak. Begitu wisata bahari sore itu selesai, pasangan itu turun dari boat sambil bertengkar hebat. Tidak ada yang mengerti di antara kami; apa asal usul kemesraannya, atau apa pula sebab musabab pertengkarannya.

Tapi yang ada hanya sebuah kaedah sederhana yang bisa disimpulkan: tidak semua kata cinta lahir dari cinta, sebab tidak semua yang terkata selalu datang dari jiwa. Boleh jadi atau sekedar lintasan pikiran yang tak berakar dalam hati. Atau respon sesaat terhadap suasana yang mengharu biru. Kata yang tak berakar di hati selalu mengandung virus: berlebihan, basa basi, tidak realistis, tidak punya daya gugah, atau punya daya gugah tapi mengandung kebohongan.

Ini dia penyakit penyair yang disebut Qur'an; “Dan para penyair itu, diikuti orang-orang pendusta... tidakkah kamu melihat bagaimana mereka mengembara tanpa arah di setiap lembah... dan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.” (QS. Al-Syuaro: 224-226).

Yahimun: mengembara tanpa arah. Itu ungkapan ajaib dan sangat akurat. Lalu diperkuat dengan pernyataan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan. Itu membuatnya lebih dalam lagi. Karena akhirnya, ini adalah cerita tentang watak yang terbelah, antara kata dan laku, tentang kata tanpa makna dan arah, kata yang hanya sekedar kata.

Penyair dan lembah itu, metafora tentang ketidakjujuran, tentang jiwa yang sakit, tentang karakter yang lemah. Cinta memang harus berkembang jadi kata. Sebab itu membuatnya nyata. Dan meyakinkan. Tapi kata itu harus benar-benar merupakan anak-anak manis yang lahir dari rahim cinta. Hanya itu yang membuatnya kuat dan berkarakter. Hanya itu yang membuat kata menyatu dengan laku. Serta bebas dari keterbelahan jiwa. Jika tidak cinta akan terkena virus yang menimpa para penyair.

Seringkali kata-katanya terlalu sederhana. Tapi kadar jiwa dan makna yang dikandungnya mungkin lebih dahsyat dari puisi-puisi yang pernah memenangkan nobel. Seperti ketika Rasulullah SAW menyanjung Khadijah: “Adakah perempuan yang bisa menggantikan Khadijah?” Ketika akhiranya rasa penasaran mendorong Aisyah menanyakan itu, Rasulullah SAW menjawab: “Dia beriman ketika semua orang kafir, dia mengorbankan harta ketika ketika semua orang menahannya, ia memberiku anak-anak.”

Pengakuan jujur yang abadi. Cinta yang terkembang jadi kata tapi tak sempat disampaikan kepada sang kekasih. Sederhana. Apa adanya. Tapi dalam. Karena ia memang lahir dari rahim cinta sejati.

Anis Matta